Jakarta, LiraNews — Sepele sekali kelihatannya. Hanya gara-gara satu pohon sengon, listrik seluruh Jakarta padam, juga Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah pada Minggu sampai Senin lalu.
Pohon sengonnya ada di Desa Malon nun jauh di Gunung Pati, 28 km selatan Semarang. Mati listriknya sampai Jakarta.
Maka pohon sengon itu perlu diabadikan fotonya untuk dipasang di seluruh kantor PLN sebagai monumen yang harus diajarkan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Betapa mahalnya pohon sengon itu sampai membuat berjuta-juta orang menderita pun kereta bawah tanah yang masih baru ikut lumpuh. Penumpangnya harus dievakuasi dan Presiden Jokowi sampai marah karenanya.
Bahkan PLN sendiri sampai harus mengeluarkan ganti rugi kepada konsumen, nilainya mencapai Rp1 triliun.
Satu pohon sengon di sebuah desa mampu menggegerkan mayapada.
Pohon sengon itu tidak salah, tumbuhnya di dalam pagar penduduk, tetapi menjulang sangat tinggi.
Tinggi tiang SUTET itu 40 meter, tapi bentangannya menggelayut dengan tinggi 18 meter. Tinggi sengon itu sekitar 15 meter, sudah mencapai medan magnet SUTET.
Foto : Antara
Tapi sengon itu juga berhak bertanya:
- Mengapa dibiarkan tumbuh tinggi di situ?
- Mengapa tidak ada yang tahu?
- Apakah tidak ada lagi anggaran untuk patroli pohon?
- Mengapa ada kebijakan anggaran ini–bahwa biaya operasi dan pemeliharaan harus di bawah anggaran SDM?
- Mengapa SUTET itu begitu rapuh? Hanya kesenggol satu pohon sudah pingsan?
- Itulah mengapa tidak boleh ada pohon dekat SUTET (Saluran Utama Tegangan Ekstra Tinggi). Jangankan sampai nyenggol, memasuki medan magnetnya pun sudah mengganggu karena bisa menyebabkan korsleting, yang mengakibatkan arus listrik terhenti.
Mengapa korsleting di selatan Semarang, padamnya di Jakarta dan Jawa Barat?
Orang Jakarta itu makan listriknya paling besar. Apalagi ditambah daerah industri sekitarnya seperti Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Karawang.
Padahal pembangkit listrik terbesarnya ada di Jawa Timur, di Paiton.
Maka harus ada pengiriman listrik dalam jumlah besar dari Jawa Timur ke Jakarta. Sekitar 3000 MW, tepatnya saya sudah lupa.
Listrik sebesar itu hanya bisa dikirim lewat SUTET yang tegangannya 500 kVA. Ibarat kirim air, selangnya harus sangat besar.
Kian tinggi tegangannya, kian luas medan magnetnya, karena itu harus ada sempadan yang lebar. Di sepanjang jalur SUTET tidak boleh ada tanaman tinggi. Dalam istilah listrik sempadan itu disebut ROW (Right of Way).
Dulu selalu ada patroli yang mengawasi ROW itu, apakah mulai ada gejala pohon yang mengganggu. Tidak harus setiap hari sebab pohon tidak bisa mendadak tinggi.
Pertanyaannya, apakah anggaran patroli masih ada? Atau manajemen patrolinya yang lemah? Atau patroli sudah dilakukan, laporan sudah dibuat, tapi tidak ada anggaran penebangan pohon?
Sesederhana itu.
Tapi ada juga unsur nasib.
Jawa itu sebenarnya sudah aman biar pun sebagian besar pembangkitnya ada di Jawa Timur. Di Jawa sudah punya dua jalur SUTET yakni jalur utara (yang lewat Ungaran, Semarang itu) dan jalur tengah. Membentang dari ujung timur ke ujung barat Jawa.
Kalaupun ada gangguan di jalur utara seperti itu sebenarnya tidak ada masalah. Arus listriknya bisa otomatis pindah ke SUTET jalur tengah.
Pohon sengon itu bukan satu-satunya tersangka.
Memang nasib PLN lagi apes. Terutama Plt Dirutnya, masih baru dan belum 24 jam.
Foto : Okezone
Hari Minggu itu ada perbaikan SUTET jalur tengah. Di timur Tasikmalaya, SUTET-nya dimatikan dengan pertimbangan sangat rasional, pada hari Minggu beban listrik di sekitar Jakarta turun drastis, cukup dilayani jalur utara.
Sayang, kok sengon itu begitu jahatnya hingga bergoyang di hari Minggu itu.
SUTET utara kena sengon. SUTET tengah lagi diperbaiki.
Akibat hilangnya pasokan dari dua SUTET tadi beban listrik kacau sekali.
Pembangkit-pembangkit listrik di wilayah barat mati satu per satu.
Terjadilah bencana itu.
Kenapa begitu lama? Ini sudah menyangkut manajemen recovery. Hanya PLN yang tahu.
Ada pertanyaan kecil, ke mana pasukan ‘Kopassus’-nya P2B? Yang dibentuk dulu itu? Yang bisa memelihara SUTET tanpa harus mematikan sistem itu?
Dibubarkan? Tidak diteruskan? Tidak cukup? Tidak dikembangkan? Tidak ada anggaran?
Saya masih ingat, peresmian pasukan itu dilakukan besar-besaran, di Monas dengan demo cara-cara memelihara SUTET tanpa mematikannya.
Memang sangat berisiko, peralatan, kepandaian, dan bajunya khusus. Karena itu kita juluki ‘Kopassus’-nya PLN.
Di PLN juga ada satu departemen khusus, namanya P2B. Itulah yang mengatur seluruh sistem listrik di Jawa. Isinya orang-orang istimewa; ahli-ahli listrik.
Saya menyebutnya ‘otak’-nya listrik. Lembaga itulah yang mengatur seluruh sistem di Jawa. Kadang saya dikritik karena terlalu mengistimewakan P2B. Saya tidak peduli, saya sudah biasa mengistimewakan redaksi dalam seluruh organisasi surat kabar.
SUTET di bawah P2B itu, tapi P2B di bawah siapa?
Organisasi PLN sekarang sudah beda. Di Jawa ada tiga direksi antara lain, Direktur Jawa Timur/Bali, Direktur Jawa Tengah/Daerah Istimewa Yogyakarta, dan direktur Jawa Barat/DKI.
P2B bisa punya posisi yang tidak jelas, di bawah koordinasi direktur yang mana. Mungkin sudah diatur, orang luar seperti saya tidak bisa melihat.
P2B itu perlu terus berkoordinasi. Tiap tiga bulan mereka harus rapat untuk evaluasi perkembangan sistem di Jawa.
Adakah rapat itu masih ada? Atau sudah ditiadakan? Rapat-rapat P2B tidak boleh dianggap rapat biasa, yang bisa dihapus demi penghematan.
Demi laba.
Memang ironi, listrik itu baru diingat justru di saat ia mati.