Penulis: Pandhita Mukti
Jakarta – Presiden ke-2 RI Soeharto (Pak Harto) sudah merasa cukup, kue pembangunan yang dibangun oleh beberapa konglomerat pada model pembangunan trickle down efek, sesuai dengan Pola Umum Kebijakan Kabinetnya dan sesuai amanat GBHN, waktunya program pemerataan harus dapat dilaksanakan sesuai komitmen awal pada tahun 1970 kepada para pelaku.
Maka pada akhir tahun 1980 Presiden Soeharto membuat ujicobanya mengumpulkan pemilik perusahaan-perusahan besar/konglomerat yang bernama Kelompok Jimbaran dan Kelompok Prasetya untuk memberikan sebahagian saham perusahaanya minimal 2,5% sampai 5% diberikan kepada Koperasi Karyawan perusahan-perusahan masing-masing milik konglomerat tersebut.
Hal ini usulan Pak Agus Soedono (ex Ketua SPSI dan anggota International Labour Organization (ILO), sebagai penganti CSR dengan menerbitkan Pajak Negatif (yang saat ini lebih dikenal sebagai CSR = Coorporate Social Responsibility ) yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang berada dilingkungan perusahaan, yang akan terkena dampak dengan keberadaan industry di wilayah tersebut.
Karena sasaran CSR adalah masyarakat yang tersingkir dari pembangunan yang dalam teori Ilmu Ekonomi Pembangunan disebut “development trap”. Yakni masyarakat yang terjebak oleh pembangunan. Yaitu masyarakat yang dimiskinkan oleh kegiatan pembangunan oleh sistem kapitalisme, mereka harus dibantu dengan Pajak Negatif, yaitu laba perusahaan yang penerbitannya tidak mempengaruhi harga (pasar) sehingga mampu menolong orang miskin tersebut.
Pembahasan Coorporate Social Responsibilty/CSR ). meningkat di seluruh dunia sejak 1990 menjadi metodologi ekonomi pembangunan guna menanggulangi development trap.
Pada tahun tersebut Pak Harto mengumpulkan Para Konglomerat yang telah dibesarkannya berkumpul di Jimbaran Bali, untuk membahas masalah pembagian kue nasional. Namun usaha di Jimbaran Bali gagal, dan dilanjutkan para Konglomerat kelompok Jimbaran dan Kelompok Prasetya dikumpulkan kembali di Tapos Bogor (tempat Peternakan Sapi milik Pak Harto).
Namun ternyata upaya tersebutpun gagal dan bahkan para Konglomerat tersebut menolak usulan dan kenginan dari Pak Harto tersebut, bahkan Liem Sio Liong (orang yang paling terdekat) mengatakan bahwa apa yang didapatkan sekarang ini adalah hasil kerja keras kami, jadi mengapa harus dibagikan ke masyarakat.
Inilah awal perpecahan yang akhirnya Pak Harto marah besar dengan mengatakan:
“Anda (para Taipan) dulu datang ke kami hanya dengan modal Celana Kolor, dengan bantuan kami sekarang sudah kaya raya, dan mengapa tidak mau mendukung kebijakan kami ini.”
Akhirnya hubungan Pak Harto dan Kroninya dengan Konglomerat pecah, di mana (menurut Fraksi ABRI) Kekayaan Negara yang jumlah 82% sebelumnya dikuasai oleh Negara akhirnya hilang dan terbawa oleh Konglomerat-konglomerat tersebut, ketika kekuasaan Pak Harto tumbang.
Itulah awal penguasaan Kekayaan Negara oleh Para Konglomerat. Dan bagaimana kah terjadinya Kekayaan Negara yang 80% lebih itu bisa dikuasai oleh para Konglomerat …. ?
Adapun proses terjadinya penguasaan kekayaan negara (bisa dalam bentuk lahan tanah yang luasnya ribuan hektar, hak pengelolaan tambang-tambang, pengelolaan hasil hutan-hutan, ataupun industri-industri dan sebagainya.
Dimulai dari upaya Soeharto mempertahankan kekuasaannya, dengan membagikan lahan-lahan tanah yang amat luas, serta sumber-sumber tambang migas, batu bara, emas dan lainnya, diberikan kepada pihak asing yang mendukung beliau, serta diberikan kepada beberapa jenderal atau pimpinan daerah dan orang terdekatnya.
Namun para jenderal ini tidak mempunyai kemampuan atau waktu untuk mengelola pemberian tersebut, lalu mereka kerjasama dengan beberapa taipan, dengan membuat perusahaan dan si jenderal tersebut diberikan saham dan menjabat komisaris dan diberikan gaji rutin, serta menerima laporan dari si Taipan tersebut.
Contohnya Perusahaan milik Proyogo Pengestu, sangat banyak hak menguasai lahan hutan, sehingga menjadi konglomerat. Dan juga mendapatkan dukungan bekingan pembiayaan kredit perbankan dengan mudah.
Ketika Pak harto jatuh, maka para jenderal tersebut sudah tidak punya kekuasaan, lalu perusahaannya seolah-olah dibangkrutkan oleh si Taipan, dan kepada Jenderal tersebut diminta untuk juga ikut membayar kerugian perusahaan. Karena tidak mampu maka seluruh sahamnya diserahkan kepada si Taipan tersebut, yang sebelumnya si Taipan tersebut sudah menyimpan dananya di Negara Singapura.
Dan kini setelah kondisi ekonomi Indonesia membaik, mereka membangun kekuatan guna bisa menguasai Negara yang kaya raya ini. Karena banyaknya yang Korupsi, sehingga mudah dikuasai, dimana saat ini mereka menunjukkan eksistensinya dengan bergabung ke dalam kelompok 9 (Sembilan) Naga.
Saat ini telah menguasai pemerintahan rezim Joko Widodo, termasuk parlemen, dan bahkan Lembaga Yudikatif. Karena usaha mereka dimulai dari membiayai dan mendanai Joko Widodo, mengikuti pemilihan gubernur DKI Jakarta, hingga mengikuti pemilihan presiden dan telah berhasil hingga dua periode.
Dan pada periode berkahirnya kekuasaan rezim Jokowi, pada pemilu 2024 ini, rezim ini masih berusaha ingin tetap berkuasa dengan berbagai cara. terakhir dengan mendorong anaknya menjadi calon wakil Presiden dengan mendukung Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden RI.