Oleh Agusto Sulistio – Mantan Aktivis PIJAR, Konseptor Sound Trasmiter – Div Rekayasa Soundsystem GNPF 212, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
KETIKA jalan perjuangan berbeda, apakah itu artinya pengkhianatan? Ketika satu kelompok memilih pendekatan moral, sementara yang lain bersiasat melalui dialog politik, apakah itu tanda tunduk pada kekuasaan? Jika kita belajar dari sejarah kemerdekaan Indonesia, jawabannya, jelas tidak.
Di satu sisi, ada Van Ons (PMKI / Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia), yang diawal terbentuknya digerakkan salah satunya oleh, Dr. Syahganda Nainggolan (Aktivis Sabang Merauke Circle), Jumhur Hidayat (tokoh buruh dan mantan Kepala BNP2TKI), Rocky Gerung (filsuf publik dan kritikus politik, Ferry Juliantono (aktivis ekonomi kerakyatan). Saat itu saya hadir secara langsung dalam salah satu diskusi terbuka Van Ons yang digelar di Kantor Dekopin, Jakarta Selatan. Aktivis lintas generasi memadati ruangan, menunjukkan semangat untuk menyusun ulang arah perjuangan bangsa. Yang paling terasa, momen itu sekaligus menjadi ajang perjumpaan emosional pasca Syahganda dan Jumhur Hidayat dibebaskan dari tahanan politik, setelah sebelumnya dijerat UU ITE karena dugaan keterlibatannya dalam aksi besar-besaran menolak RUU Omnibus Law beberapa tahun silam.
Pertemuan tersebut bukan sekadar reuni para tokoh, melainkan forum strategis untuk menyuarakan keresahan rakyat secara kolektif. Mereka memilih jalan realistik berdiplomasi, membangun dialog lintas kubu, tanpa kehilangan prinsip. Termasuk dengan bertemu Dasco dari Partai Gerindra beberapa hari lalu. Dalam pertemuan ini yang viral disebut “Diplomasi Sayur Lodeh” mereka menyampaikan kritik dan seruan perubahan kepada Sufmi Dasco Ahmad yang merupakan salah satu orang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto. Usai pertemuan, Dasco pun berjanji setiba bertemu Presiden di Istana Merdeka akan sampaikan isi dari hasil pertemuan ini, tulis Syahganda dalam tulisan opininya beberapa hari lalu.
Namun, pertemuan ini memunculkan kontroversi, terutama setelah munculnya narasi soal “diplomasi sayur lodeh”—istilah satir yang merujuk pada perjamuan sederhana dalam pertemuan itu. Sayur lodeh yang disajikan kemudian dipelesetkan menjadi simbol kompromi. Padahal, substansi pertemuan tetap kuat, menolak KKN, menegakkan demokrasi substantif, dan mendorong rekonsiliasi nasional berbasis kepentingan rakyat, bukan elite.
Sementara di sisi lain, ada kelompok Salam4jari, yang dipelopori oleh Chozin Amirullah, sahabat dan pendamping politik Anies Baswedan, Aktivis gerakan #IndonesiaReset dan #MulaiDariNol, komunitas mahasiswa dan pegiat pro-demokrasi yang menolak keras segala bentuk kompromi politik.
Bagi mereka, diplomasi dengan rezim yang dianggap lahir dari proses cacat adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Mereka memilih jalan oposisi moral yang tegas dan tidak kenal kompromi.
Ada pula suara dari Agung Sudjatmiko, Ketua Harian Dekopin, yang menyentil gagasan pembangunan 80.000 koperasi oleh pemerintahan baru. Ia menekankan bahwa tanpa gerakan rakyat dari bawah, kebijakan sebesar apapun hanya akan menjadi proyek elite. Ini adalah peringatan penting bahwa substansi perubahan harus nyata di akar rumput.
Jika kita belajar dari sejarah, dinamika seperti ini bukan hal baru. Di masa pergerakan kemerdekaan, perbedaan strategi juga mewarnai jalan para tokoh bangsa septi, Soekarno dengan agitasi massa, Hatta dengan diplomasi internasional, Tan Malaka dengan revolusi kerakyatan. Tidak satu cara, tapi satu arah yakni kemerdekaan dan keadilan sosial.
Hari ini, pelajaran yang harus kita ambil adalah jangan mudah dipecah belah oleh perbedaan strategi. Perbedaan cara tidak berarti perbedaan visi. Selama benang merah perjuangannya sama melawan oligarki, membela rakyat, dan menjaga demokrasi maka semua bentuk perlawanan layak dihargai.
Kita harus waspada, karena sejarah mencatat bahwa perpecahan di antara para aktivis justru selalu dimanfaatkan oleh kekuasaan yang menyimpang.
Mari kita kuatkan yang masih jujur, kita rangkul yang masih bernyali, tanpa harus saling menuding siapa paling benar. Karena seperti kata Bung Hatta “Kita butuh semua kekuatan, bukan satu-satunya kekuatan.”
Jangan biarkan perbedaan cara menjadi penghalang untuk merebut kembali Indonesia yang adil. Hari ini, perjuangan kita bukan untuk saling mengalahkan. Tapi untuk saling menguatkan agar Indonesia tidak kembali gelap. (*)