Jakarta, LiraNews – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan tidak lepas tangan dengan banyaknya tenaga kerja asing (TKA) China di industri smelter nikel, apalagi dengan alasan Indonesia tidak memiliki SDM untuk itu.
“Sementara ditengarai banyak TKA yang bekerja di industri smelter tidak berkualifikasi tenaga ahli. Di antaranya malah datang ke Indonesia dengan visa turis,” ungkap Mulyanto kepada para wartawan, Senin (22/11/2021).
Kondisi ini, kata Mulyanto, sangat merugikan tenaga kerja domestik dan pemasukan pajak negara.
“Masak TKA yang datang pada industri smelter ini berkualifikasi pekerja kasar dan dengan visa kunjungan. Ini kan merugikan kita,” ujar Wakil Ketua F-PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
“Pemerintah tentunya harus memastikan soal ini, agar tidak menjadi isu liar di tengah masyarakat,” imbuh Mulyanto.
Mulyanto menilai, Indonesia memilikI SDM yang siap untuk dilatih mengelola smelter.
“Smelter milik pengusaha domestik juga ada dan saat ini Mind ID dan PT Aneka Tambang sedang gencar membangun pabrik Feronikel di Halmahera dengan kapasitas 13,500 nikel dan Smelter Grade Alumina (SGA) di Mepawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas 2 juta ton per tahun. Begitu juga smelter PT. Freeport Indonesia di Gresik,” urai Mulyanto.
“SDM Indonesia dapat disiapkan untuk mengelola smelter. Hanya kebijakan politik Pemerintah saja yang tidak memihak dan tegas terkait alih teknologi ini,” sambung Mulyanto.
Menurut Mulyanto, kebijakan pemerintah terlalu memanjakan pengusaha smelter asing.
Mulyanto menghimbau, seharusnya ada kebijakan atau perjanjian semacam offset yang mewajibkan pekerjaan kelas menengah dan buruh diserahkan untuk tenaga kerja domestik, tidak bulat-bulat mendatangkan TKA.
“Kalaupun ini tidak bisa langsung dipenuhi, paling tidak dapat dilakukan secara bertahap melalui mekanisme pelatihan alih teknologi,” tukas Mulyanto.
Mulyanto beranggapan, hal ini soal pilihan kebijakan dari Pemerintah dan perjanjian dengan pihak asing.
Selain soal TKA, Mulyanto juga mendesak pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel ini.
“Jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiflyer effect) dari program ini jauh dari apa yang dijanjikan pemerintah,” imbuh Mulyanto.
“Hilirisasi nikel ini kan program yang bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan negara akan meningkat. Selain itu dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal,” tambah Mulyanto.
Namun, ucap legislator asal Dapil Banten 3 ini, kalau prakteknya yang dihasilkan hanyalah produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah dan maraknya TKA berkualifikasi kasar.
“Tentu ini akan mengecewakan kita. Ini tidak sesuai dengan harapan,” tandas Mulyanto.
Untuk diketahui Saat ini, Sebanyak 80% dari produk yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah (NPI). Hanya 20% hasilnya berupa stainless steel (SS).
Bahan nikel murni untuk industri baterai belum ada. Karenanya nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tidak sebesar 19 kali sebagaimana yang dijanjikan pemerintah.