Jakarta, LiraNews — Ibukota negara pindah, ibukota Republik Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan disuarakan penolakannya oleh 4 (empat) anggota DPD RI terpilih dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta, yaitu Fahira Idris, Sabam Siagian, Jimly Asshidiqi, Sylviana Murni.
Keempat anggota DPD RI terpilih menyuarakan aspirasi rakyat, paling tidak aspirasi rakyat DKI Jakarta pada saat mereka bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balaikota DKI Jakarta (25/7/2019).
Sebagai sosiolog dan akademisi, saya setuju dan mendukung penolakan keempat anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk memindahkan ibukota negara dari DKI Jakarta.
Setidaknya ada lima alasan, yang mendasari persetujuan saya terhadap penolakan empat anggota DPD RI Terpilih dari DKI Jakarta untuk memindahkan ibukota.
Pertama, alasan keuangan negara. Menurut Bank Indonesia (BI) hingga Mei 2019 utang luar negeri (ULN) telah mencapai US$368.1 (kurs perdolar Rp14.313) sekitar Rp5.153 triliun (CNN Indonesia, 15/7/2019). Sedang defisit APBN tahun 2019 sebesar Rp296.0 triliun. Postur anggaran, belanja negara Rp2.461,1 triliun, pendapatan negara Rp2.165,1 triliun (www.kemenkeu.go.id/apbn2019).
Utang Pemerintah Mei 2019 Tembus Rp4.572 Triliun Utang pemerintah hingga Mei 2019 tercatat sebesar Rp4.571,89 triliun, naik dibanding periode yang sama tahun lalu Rp4.169,09 triliun.
Bukan hanya keuangan negara yang sulit, tetapi belanja negara bisa semakin membengkak untuk mobilisasi perpindahan pejabat, pegawai dan pembangunan sarana prasarana.
Kedua, alasan sosiologis, mencakup karyawan yang bekerja di berbagai kementerian dan lembaga negara yang harus pindah ke Kalimantan jika ibukota pindah. Mereka tinggal di mana, siapa yang membiayai mereka pindah, anak-anak mereka yang sedang sekolah siapa menjaga? Belum lagi masyarakat di daerah yang sudah terbiasa pergi ke Jakarta untuk berbagai macam urusan, dan masyarakat DKI yang menolak pindah ibukota.
Ketiga, alasan politis, yaitu kepentingan dalam negeri dan dan luar negeri.
1) Partai politik dan organisasi massa, kantor pusat harus pindah di ibukota baru, siapa yang membuatkan kantor baru dan membantu biaya perpindahan karyawan dan tempat tinggal mereka.
2) Perwakilan negara-negara sahabat harus membuat kantor baru di ibukota baru, perpindahan staf di ibukota baru pasti menyulitkan mereka. Kalau tidak pindah, jika ada acara kenegaraan seperti peringatan hari kemerdekaan RI harus naik pesawat dan sewa hotel untuk menginap.
Keempat, alasan yuridis. Perpindahan ibukota berarti lembaga-lembaga negara harus pindah. Pada hal dalam UUD 1945 pasal 2 ayat (2) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Ibukota negara yang dimaksud adalah Jakarta.
Lalu ada pasal 23 G ayat (1) BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa undang-undang yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di ibukota.
Implikasi lain status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) yang diatur dalam UU, dimana status kota madya, walikotanya diangkat dan dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta, tidak ada pemilihan Walikota dan Bupati di DKI seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada) di daerah lain dan tidak ada DPRD kota dan kabupaten di DKI Jakarta.
Kelima, alasan manfaat dan historis. Menurut saya, pindah ibukota RI lebih banyak “mudaratnya” daripada manfaatnya. Mudaratnya semakin membebani anggaran negara yang sekarang ini untuk menutup defisit harus terus menerus berutang, menyulitkan rakyat khususnya pegawai kementerian dan lembaga negara, partai politik, ormas dan perwakilan negara-negara sajabat.
Selain itu, mengubur sejarah, kemerdekaan RI diproklamasikan di Jakarta. Kalau tidak ada alasan memaksa (force majeure) tidak boleh memindahkan ibukota negara. Kalau mau pindahkan ibukota harus ada persetujuan rakyat.
Sedang manfaat ibukota negara pindah ada, tetapi tidak sebanding dengan kesulitan yang dihadapi.
Solusinya: Bukan Pemindahan Ibukota, Tetapi Pemindahan Pusat Pemerintahan
Saya memberi solusi, bukan pemindahan ibukota, tetapi pemindahan Pusat Pemerintahan.
Kalau pindah pusat pemerintahan tidak usah minta persetujuan rakyat, Presiden Jokowi bisa keluarkan Peraturan Presiden (Perpres) atau Keputusan Prediden. Jika pindah ibukota harus mengubah UUD dan UU.
Saya mengusulkan lokasi tempat pusat pemerintahan yang baru di kawasan Serpong, Provinsi Banten atau di kawasan Jonggol Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.
Pemindahan pusat pemerintahan bisa mencontoh di Malaysia, ibukota negara Malaysia tetap di Kuala Lumpur, tetapi pusat pemerintahannya dipindah di Putera Jaya, dan negara lain seperi Amerika Serikat, pusat pemerintahannya dipindah dari New York ke Washington, DC.
Ada beberapa fakta menarik yang bisa jadi hanya kebetulan saja:
1. Pemindahan pusat pemerintahan yang rencananya dimulai pada tahun 2024
2. Bersamaan dengan Pilpres 2024
3. Ibukota DKI Jakarta yang sekarang ini dipimpin oleh Gubernur Anies Baswedan
Apabila perpindahan Ibukota terjadi maka pengaruh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota akan berkurang bahkan tidak akan ada sama sekali. Karena pemerintahan provinsi berbeda dengan pemerintahan keseluruhan negara Indonesia.
Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi bangsa dan negara.
Musni Umar, Sosiolog / Rektor Universitas Ibnu Chaldun