Tak Ada Dolar, Yuan pun Jadi

Jakarta, LiraNews –Selama lima bulan pertama tahun ini, Indonesia kedatangan 6,3 juta turis. Angka itu meningkat 2,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kebanyakan pelancong yang datang itu dari China yaitu sebanyak 882,9 ribu atau 13,86%. Wisman atau wsiatawan mancanegara asal Negeri Tirai Bambu itu kini menjadi andalan bagi Indonesia untuk menjaring devisa.

Menurut Kementerian Pariwisata, rata-rata spending wisatawan mancanegara ke Indonesia sebesar US$1.201,04 per kunjungan (PPK – Pengeluaran Per Kunjungan/ASPA – Average Spending Per Arrival) dari pintu utama. Data itu diambil berdasarkan hasil Passenger Exit Survey (PES) 2016. Sedangkan wisatawan pintu lainnya (pos lintas batas) antara US$178,14 – 190,88. Sejauh ini Badan Pusat Statistik atau BPS belum mengeluarkan angka terbarunya.

Sedangkan rata-rata pengeluaran wisatawan China US$1.019 per orang per kunjungan. Lebih rendah dibanding pengeluaran turis Eropa, misalnya, yang mencapai US$1.538 per orang per kunjungan. Menyimak angka itu jika dikalikan dengan 882,9 ribu kunjungan wisatawan China pada Januari-Mei 2019, maka devisa yang diperoleh Indonesia adalah sebesar US$899,7 juta. Jumlah itu kalau dirupiahkan sekitar Rp12,6 triliun.

Turis-turis China lazim menggunakan mata uang renminbi dalam bertransaksi. Setidaknya itu marak terjadi tiga bulan yang lalu di Bali. Beberapa merchant melayani transaksi WeChat Pay; 20% menggunakan rupiah, sedangkan 80% lagi menggunakan mata uang yuan.

Ada tiga jenis transaksi renminbi di Bali. Pertama adalah transaksi WeChat Pay transfer peer to peer lending dalam renminbi. Kedua adalah transaksi kartu Union Pay lewat EDC memakai wifi dari China. Sedangkan ketiga adalah memakai voucher renminbi dari aplikasi Meituan Dianping.

Meituan Dianping adalah perusahaan teknologi dengan platform barang dan jasa. Perusahaan ini bisa disebut sebagai “Amazon-nya China”, menawarkan berbagai layanan pemesanan yang mencakup tiket film, liburan dan taksi. Dibentuk sejak 2015 karena penggabungan dua perusahaan kecil, Meituan dan Dianping.

Hanya saja, Presiden Direktur PT Alto Halodigital International (AHDI) Rudy Ramli mengungkap, transaksi renminbi sudah tidak bisa lagi dilakukan WeChat dan Alipay di Bali untuk saat ini. “Dua atau tidak bulan lalu iya. Sekarang saya sudah tidak menemukan lagi,” tuturnya, di Jakarta Kamis (18/7). “Di dalam aplikasinya, AliPay tidak bisa dipakai algorithm yang akan bisa memblok,” tambahnya.

Rudy juga bercerita aplikasi WeChat seorang karyawan partner AHDI dari China kena blokir gara-gara mencoba digunakan di sini. AHDI adalah anak usaha perusahaan switching Alto yang bergerak sebagai perusahaan penunjang sistem pembayaran dalam negeri atau dari luar negeri. Perusahaan ini sudah menggandeng WeChat dan Alipay. Itu sebabnya, kedua platform ini menempatkan karyawan dari China di Indonesia.

Kini, transaksi melalui WeChat dan Alipay di Bali sudah bisa dipastikan menggunakan transaksi dalam rupiah. Hanya saja, Rudy tidak bisa memastikan transaksi melalui ECD. “Saya tebak masih berjalan itu EDC dari China dibawa ke Bali. Maka transaksi reminbi pakai kartu China UnionPay di EDC dari China,” ujarnya.

Alipay merupakan sistem pembayaran seluler berbasis QR Code yang merupakan bagian dari Alibaba Group. Alipay dan WeChat Pay hingga saat ini belum mendapatkan izin beroperasi dari Bank Indonesia.

Beberapa bank besar Indonesia diketahui telah bekerja sama dengan keduanya. Alipay, khususnya, telah menjalin kerja sama dengan Bank CIMB Niaga dan Bank Central Asia yang merupakan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU IV) dengan modal di atas Rp30 triliun. Rudy mengatakan kerja sama WeChat dan Alipay dengan bank BUKU IV sejauh ini belum berjalan.

Turis China di resor kawasan Bali Utara yakni Toya Devasya misalnya, sebagian menggunakan aplikasi WeChat dan Alipay. Resor tersebut memang memberlakukan kebijakan pembayaran tanpa tunai kecuali oleh beberapa agen perjalanan.

Marketing Toya Devasya I Made Arsana menjelaskan keberadaan fasilitas pembayaran China tersebut untuk mengakomodir wisatawan mancanegara (wisman) asal Negeri Tirai Bambu. Pasalnya, 60% dari total wisman yang mengunjungi resor berasal dari China. “Ada yang pakai [Alipay dan WeChat Pay]. Tapi, biasanya pembayaran melalui travel agent, karena kebijakan kami cash by guide,” paparnya kepada Bisnis.

Selain Alipay dan WeChat Pay, Arsana menjelaskan resor juga telah menambahkan pembayaran digital melalui agen perjalanan. Menurutnya, mayoritas pengunjung yang menginap membayar melalui agen perjalanan, sedangkan pengunjung yang menggunakan Alipay dan WeChat Pay merupakan wisman dari China yang datang langsung tanpa pemesanan sebelumnya.

Terfavorit

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat kedatangan wisatawan mancanegara ke Pulau Dewata per April 2019 mencapai 476.327 kunjungan. Turis China menduduki peringkat pertama dengan jumlah 94.202 orang. Jika pengeluaran mereka rata-rata US$1.019, maka total divisa yang bisa ditanggok Indonesia dari turis China sekitar US$96 juta atau jika dirupiahkan sekitar Rp1,3 triliun selama sebulan itu.

Wisatawan China menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga sebagai destinasi pariwisata terfavorit pada 2018. Posisi Indonesia masih kalah dari Thailand dan Jepang, yang menjadi tujuan berpelesir paling disukai oleh warga China. Dalam pandangan wisatawan kelas atas China, berdasarkan data Ctrip, objek-objek wisata di Indonesia dinilai lebih menarik dibandingkan dengan di Maladewa, Amerika Serikat, Australia, Prancis, Singapura, Uni Emirat Arab, dan Italia.

Klien Ctrip dari kalangan wisatawan kelas atas bisa menghabiskan uang rata-rata 23.800 RMB (Rp48,7 juta) per orang. Angka itu jauh lebih besar daripada wisatawan yang membeli paket standar yang hanya menghabiskan 5.500 RMB (Rp11,2 juta) per orang.

Pada tahun lalu, wisatawan China yang menggunakan jasa Ctrip meningkat 180% dibandingkan tahun sebelumnya. Bali masih menjadi tujuan favorit wisatawan China yang berlibur di Indonesia. Pada tahun lalu, Indonesia menerima sekitar 2,6 juta kunjungan wisatawan China. Pada tahun ini Kementerian Pariwisata RI menargetkan 3,5 juta kunjungan wisatawan dari Negeri Panda.

Rudy Ramli mengatakan potensi transaksi dengan turis China di Bali sekitar Rp20 triliun per tahun. Hanya saja, sejauh ini traksaksi melalui AHDI masih kecil. Rudy enggan menyebut angka pastinya. “Sekitar 1-2%,” katanya.

Sebagai destinasi utama pariwisata di Indonesia, Bali merupakan salah satu pulau WeChat Pay paling banyak digunakan. Menurut survei Bank Indonesia (BI) pada tahun lalu, ada sekitar 1.800 lokasi usaha yang menggunakan WeChat Pay sebagai alat untuk bertransaksi di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu 90% ada di Bali.

Pelaku usaha sektor pariwisata di Tanah Air meyakini kunjungan wisatawan mancanegara asal China akan meningkat 5% hingga 10% pada tahun ini sebagai dampak dari kebijakan Pemerintah Negeri Panda yang melarang warganya berpelesir ke Amerika Serikat. Jika tak bawa dolar renminbi pun jadi.

Miftah H. Yusufpati, Wartawan Senior

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *