TIGA JEJAK DIGITAL, Seri 1: Awal yang Retak

Tiga Jejak Digital (Ilustrasi)

LAMPU-LAMPU LED berpendar di sepanjang dinding ruangan, memantulkan warna biru kehijauan dari layar monitor yang memenuhi meja kerja mereka. Udara dipenuhi aroma kopi yang sudah mulai dingin, bercampur dengan sisa bau rokok dari asbak di sudut meja. Jam digital di dinding menunjukkan pukul 02:47 dini hari.

Arga bersandar di kursinya, tangannya meremas rambutnya yang sudah berantakan. “Kita nggak mungkin bisa menyelesaikan ini dalam waktu kurang dari dua belas jam kalau sistemnya masih begini.”

Read More
banner 300250

Revan, yang duduk di sebelahnya, menyesap kopinya tanpa ekspresi. Kantung matanya terlihat semakin dalam, tanda kurang tidur berhari-hari. Ia menatap layar di depannya dengan tatapan kosong. “Aku udah ngecek semua kode di repository. Secara teknis, ini seharusnya berjalan mulus. Tapi… tetap saja crash.”

Di sisi lain ruangan, Fikri mengetik cepat di laptopnya. Matanya tidak lepas dari baris-baris kode yang berlari di layar. Wajahnya tetap tenang, meski dadanya berdebar keras. “Masalahnya bukan di engine yang kita pakai,” katanya akhirnya, dengan suara rendah tapi tegas.

Arga menoleh. “Terus di mana?”

Fikri menghela napas. Ia ragu sejenak sebelum menjawab, “Sepertinya ada sesuatu yang mengubah sistem dari dalam.”

Revan mengangkat alis. “Maksudmu? Hacker? Malware?”

Fikri menggeleng. “Aku juga nggak yakin. Tapi ada anomali dalam kode. Seolah ada bagian program yang berjalan sendiri di luar perintah kita. Semacam… kesadaran digital yang mulai bertindak tanpa kendali.”

Arga bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan yang dipenuhi kabel dan peralatan komputer. Rahangnya mengeras. “Ini bukan waktunya buat ngomongin teori aneh, Fik. Kita butuh solusi. Kalau Chronicles of Eternia 2.0 gagal di hari peluncuran, habislah kita.”

Fikri menghela napas dan kembali fokus ke layar. Ia tahu, saat ini, tidak ada gunanya mendebat Arga. Tapi di dalam hatinya, ia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang semakin kuat.

Tiga tahun lalu, mereka hanyalah sekelompok anak muda yang bermimpi besar. Mereka memulai Triarch Studio di sebuah ruangan sempit di Bandung, dengan modal nekat dan optimisme. Arga adalah otaknya, seorang programmer jenius yang punya visi besar dan ambisi tanpa batas. Revan, dengan kepiawaiannya dalam desain dan animasi, memastikan semua proyek mereka tampil menawan. Sementara Fikri, si introver yang selalu berpikir jauh ke depan, menjadi penghubung antara konsep, teknologi, dan filosofi yang mereka terapkan dalam game mereka.

Game pertama mereka, Chronicles of Eternia, sukses besar. Game itu membawa mereka ke puncak industri game Indonesia, bahkan menarik perhatian investor global. Dengan dana besar, mereka mengembangkan sekuelnya, Chronicles of Eternia 2.0, yang dijanjikan sebagai revolusi dalam dunia game.

Namun kini, di malam sebelum peluncuran besar, semuanya tampak hancur.

Server mereka terus mengalami crash, meskipun tidak ada kesalahan yang jelas dalam kode. Semua upaya debugging hanya membuang waktu. Dan yang lebih aneh, sistem tampaknya memiliki “kehendak sendiri.”

“Aku menemukan sesuatu,” suara Fikri memecah kesunyian.

Revan dan Arga mendekat. Fikri menunjuk ke layar. “Ada sebuah skrip yang muncul di sistem, tapi bukan dari kita. Skrip ini menulis ulang beberapa bagian dari kode game secara otomatis.”

Arga menyipitkan mata. “Dari mana asalnya?”

Fikri mengetik beberapa perintah. “Aku belum tahu. Tapi lihat ini…” Ia membuka sebuah log aktivitas. “Skrip ini mulai aktif sejak dua minggu lalu, saat kita melakukan uji coba beta tertutup.”

Revan mengernyit. “Berarti ada seseorang yang masuk ke sistem kita?”

Fikri terdiam. “Atau… mungkin lebih dari itu.”

Arga menepuk bahunya. “Jangan ngomong sesuatu yang aneh, Fik. Ini pasti ulah hacker. Kita cuma perlu cari celahnya dan bersihkan sistemnya.”

Fikri ingin membantah, tapi ia menahan diri.

Di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar terjadi. Seolah dunia yang mereka ciptakan dalam Chronicles of Eternia 2.0 mulai memiliki kehendak sendiri.

Arga berbalik ke Revan. “Kita harus cari cara buat backup sistem dan reboot server sebelum fajar.”

Revan mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan kelelahan.

Mereka bertiga kembali tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Namun dalam benak mereka, muncul pertanyaan yang tidak terucapkan:

Apakah mereka benar-benar masih mengendalikan game ini?

Atau ada sesuatu yang lebih besar yang mengendalikan mereka?

(To be continued…)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *