–Dwi Taufan Hidayat–
MALAM itu, setelah perdebatan yang melelahkan, ketiganya terdiam dalam keheningan ruang kerja mereka. Layar komputer berkilau dengan statistik dan laporan, namun semuanya terasa semakin kabur di mata Arga, Revan, dan Fikri. Apa yang mereka kejar selama ini? Apakah ini benar-benar hidup yang mereka inginkan? Atau apakah mereka hanya menjadi pelari dalam sebuah perlombaan tanpa akhir, berputar-putar dalam lingkaran ambisi dan pencapaian yang semakin menjauhkan mereka dari kedamaian yang sejati?
Revan duduk di kursinya, mata kosong menatap monitor. Setiap detik yang berlalu terasa berat. Dia merasa seolah-olah seluruh dunia digital yang mereka bangun kini menjadi penjara, bukan kebebasan. Setiap kegagalan, setiap masalah, semakin mengikis harapan-harapan yang dulu ia genggam. Ia tak bisa menahan perasaan itu lagi. “Kita… kita terjebak dalam sesuatu yang kita buat sendiri,” ujarnya pelan, suaranya serak. “Kita terus berlari, tapi selalu saja ada tembok yang lebih tinggi yang harus dilompati.”
Arga, yang sebelumnya lebih suka menanggapi segala sesuatunya dengan canda atau kelakar, kini merasa betul-betul terperangkap. Ia memutar kursinya dan menatap Revan. “Aku tahu apa yang kamu maksud, Van. Dulu, saat kita mulai semuanya, aku berpikir hidup kita bakal sempurna. Tapi semakin kita sukses, semakin aku merasa… kosong. Semakin kita dapat lebih banyak, semakin sedikit yang kita rasakan.”
Fikri, yang semula lebih diam, menatap mereka dengan pandangan yang dalam. “Mungkin masalahnya bukan pada apa yang kita kejar, tapi pada bagaimana kita mendefinisikan ‘kesuksesan’,” katanya pelan, tetapi jelas. “Kita terlalu banyak memandang dunia ini dengan ukuran yang salah. Kita sering melupakan hal-hal yang tidak bisa diukur, yang sebenarnya lebih penting.”
Revan menunduk, seolah meresapi kata-kata Fikri. Dia merasa terasingkan oleh dunia yang mereka ciptakan sendiri. Dunia yang tak hanya melibatkan komputer dan server, tetapi juga hasrat yang membara akan kemenangan yang tak pernah berujung. “Apa yang kita lakukan sekarang ini memang benar-benar penting?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Atau kita cuma mengejar hal-hal yang nggak ada habisnya?”
Fikri mengangguk. “Kadang-kadang kita harus berhenti sejenak untuk melihat lebih dalam. Mungkin kita bisa berhenti mengejar kesuksesan yang terlihat, dan mulai mencari kebahagiaan yang lebih sederhana.”
Arga dan Revan terdiam. Mereka sudah mulai memahami bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian yang diukur dengan angka dan popularitas. Tapi apa yang harus mereka lakukan sekarang? Ke mana mereka harus melangkah?
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan keraguan. Perusahaan mereka, yang selama ini menjadi sumber kebanggaan, kini terasa seperti beban. Mereka tahu bahwa mereka harus segera mengatasi masalah keamanan yang mengancam, tetapi di sisi lain, mereka merasa kehilangan arah. Pekerjaan yang seharusnya mereka nikmati kini menjadi sumber stres yang tak terhindarkan.
Arga duduk di kursinya, menatap layar yang menampilkan email dari investor mereka. Pesan itu penuh dengan tuntutan dan harapan tinggi, seperti biasa. Tapi kali ini, Arga merasa seolah dunia itu terlalu jauh. “Investor ini, mereka nggak ngerti apa yang kita alami,” gumamnya. “Mereka cuma lihat angka, bukan orang-orang yang ada di baliknya.”
Fikri berjalan ke meja Arga, melihat email itu, lalu menghela napas. “Kita nggak bisa terus hidup dengan ekspektasi orang lain, Ga. Kita harus memutuskan, apa yang benar-benar penting buat kita.”
Revan, yang duduk di pojok ruangan, menunduk dalam diam. Ketika Fikri berbicara seperti itu, dia merasakan ada kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin inilah saatnya untuk menghentikan roda yang terus berputar ini, untuk mencari jalan keluar dari penjara yang mereka bangun sendiri.
Malam itu, mereka berdua, Arga dan Fikri, menghabiskan waktu lama berbicara. Membicarakan impian-impian yang terlupakan, tentang perjalanan yang belum ditempuh, tentang hidup yang lebih bermakna. Namun, mereka tahu, ada satu masalah besar yang masih menghantui: Revan.
Revan yang dulu selalu tampak seperti orang yang paling bersemangat, kini mulai merasakan gejolak batin yang semakin besar. Setiap langkah yang diambilnya terasa salah, dan ia merasa semakin terperangkap dalam dunia yang sudah tidak bisa ia pahami lagi. Arga dan Fikri tahu, Revan membutuhkan waktu untuk menemukan jawabannya sendiri.
Hari berikutnya, Arga memutuskan untuk menemui Revan. Mereka berjalan bersama menuju sebuah taman di tengah kota Bandung, tempat yang sering mereka kunjungi saat pertama kali memulai usaha mereka. Di sana, mereka duduk di sebuah bangku, merenung di bawah pohon besar yang rindang.
“Van, kita udah jauh banget jalanin semua ini,” kata Arga, memulai percakapan. “Tapi, apakah kamu merasa seperti kita sudah sampai di tempat yang benar?”
Revan menatap pohon di depan mereka, menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Ga. Semua yang kita capai in…i terasa seperti ilusi. Aku pikir aku akan bahagia saat kita sukses, saat uang mengalir, saat orang-orang mengenal kita. Tapi kenyataannya? Aku malah merasa semakin kosong.”
Arga mengangguk pelan. “Aku juga merasakan hal yang sama.” Ia menoleh ke arah Fikri yang duduk di bangku seberang, menunggu tanpa mendesak. “Mungkin selama ini kita terlalu fokus ke layar komputer, ke angka-angka, ke target-target yang terus bertambah, sampai kita lupa melihat ke dalam diri sendiri.”
Revan menunduk, memainkan ujung jaketnya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Fikri tersenyum tipis. “Jawabannya nggak harus langsung kita temukan sekarang. Tapi mungkin, kita bisa mulai dengan berhenti sejenak. Melihat hidup dari sisi lain, mencoba memahami arti semua ini.”
Arga dan Revan terdiam. Kata-kata Fikri sederhana, tapi seolah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat di hati mereka.
Sore itu, mereka bertiga duduk lebih lama dari biasanya. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, tidak ada diskusi tentang angka dan target. Hanya percakapan sederhana tentang kehidupan, tentang keluarga yang jarang mereka hubungi, tentang kenangan masa kecil yang hampir terlupakan.
Malam mulai turun, dan angin sepoi-sepoi menyapu taman. Saat mereka berjalan kembali ke rumah, Revan tiba-tiba berhenti dan menatap kedua sahabatnya.
“Aku rasa… aku butuh waktu untuk berpikir. Aku mau coba cari tahu apa yang benar-benar aku inginkan.”
Arga dan Fikri saling pandang, lalu mengangguk.
“Kita di sini, Van,” kata Arga. “Apa pun yang kamu putuskan nanti, kita tetap sahabat.”
Revan tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Mungkin, ini awal dari perjalanan baru. Jejak digital yang mereka tinggalkan akan selalu ada, tetapi mungkin sekarang saatnya mencari jejak lain—jejak yang lebih bermakna dalam hidup mereka.
(To Be continued…)