JAKARTA, LIRANEWS.COM | Tottenham Hotspur berhasil meraih trofi pertamanya dalam 17 tahun setelah mengalahkan Manchester United 1-0 di final Liga Europa yang berlangsung di stadion San Mames, Spanyol. Gol kemenangan dicetak oleh Brennan Johnson di akhir babak pertama, dalam pertandingan yang secara keseluruhan berjalan membosankan.
Namun di balik kemenangan itu, laga ini menyimpan banyak makna. Tottenham melepaskan label “tim pecundang” yang selama ini melekat, sementara Manchester United justru mempermalukan diri sendiri, fans mereka, legenda Sir Alex Ferguson, dan bahkan wajah sepak bola Inggris.
Spurs Tak Lagi ‘Spursy’
Selama bertahun-tahun, Spurs dikenal sebagai tim yang lemah mental, yang kerap gagal saat dibutuhkan. Mereka bahkan jadi bahan lelucon: “Dr Tottenham akan menyembuhkan tim Anda”—menandakan mereka selalu kalah melawan tim yang sedang terpuruk.
Tapi malam itu, semuanya berubah. Meski tampil tanpa tiga pemain kreatif utama (Dejan Kulusevski, James Maddison, dan Lucas Bergvall), dan bahkan mencadangkan Son Heung-min, Tottenham tetap tampil solid. Ini adalah bukti bahwa manajer Ange Postecoglou telah mengubah mentalitas tim.
Kemenangan ini menjadi pembuktian bagi Postecoglou, yang membawa trofi di musim keduanya—tepat seperti yang pernah ia janjikan. Meski masa depannya di klub belum pasti, ia boleh tersenyum bangga.
United Tampil Memalukan
Sebaliknya, Manchester United tampil sangat buruk. Tak ada kreativitas, tak ada semangat, tak ada kualitas. Kekalahan ini bukan hanya soal gagal meraih trofi, tapi soal memperlihatkan betapa berantakannya kondisi tim saat ini.
Mereka membuat Sir Alex Ferguson—yang menyaksikan langsung dari tribun—harus menyaksikan kehancuran klub yang dulu ia bangun dengan kejayaan.
Dengan hasil ini, United gagal lolos ke Liga Champions dan dipastikan kehilangan pemasukan besar. Selain itu, proses membangun kembali tim oleh manajer baru, Ruben Amorim, akan jadi jauh lebih sulit, karena klub kini tidak lagi menarik bagi pemain top.
Laga Final yang Mengecewakan
Secara permainan, laga ini jauh dari kata menghibur. Kedua tim tampil gugup dan banyak melakukan kesalahan. Sepanjang babak pertama, nyaris tidak ada peluang berarti hingga menit ke-41, ketika umpan Pape Sarr disambut Brennan Johnson dan menghasilkan gol.
Babak kedua justru lebih buruk. Banyak kesalahan operan, pelanggaran, dan minim kualitas teknis. Pertandingan ini terasa seperti level League Two, bukan final Eropa.
Peluang yang Terbuang
United punya beberapa momen untuk menyamakan kedudukan. Rasmus Højlund, yang tampak frustrasi dan terisolasi sepanjang laga, nyaris mencetak gol sebelum diselamatkan secara heroik oleh Micky van de Ven di garis gawang.
Fernandes juga sempat membuang peluang emas, menyundul bola melebar dari jarak delapan yard. Alejandro Garnacho memberikan ancaman lewat tembakan keras, tapi semuanya tidak cukup.
Akhir Sebuah Narasi
Bagi Tottenham, kemenangan ini bukan sekadar trofi. Ini adalah pernyataan bahwa mereka bukan lagi bahan tertawaan. Mereka telah mengalahkan Manchester United tiga kali dalam satu musim, dan kali ini melakukannya dengan cara yang paling berarti.
Bagi United, ini adalah titik nadir. Kalimat legendaris “Teman-teman, ini Tottenham”—yang dulu meremehkan Spurs—sekarang berbalik menjadi ironi. Spurs bukan lagi tim yang bisa diremehkan.
United kini menghadapi masa depan yang suram. Proyek ambisius Sir Jim Ratcliffe untuk membenahi klub kini dimulai dari kekalahan memalukan. Sementara Spurs, untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade, bisa bangga menyebut diri mereka juara.
(Sumber: Daily Mail dan lainnya)
Kolom Komentar