Pakar Politik: Intervensi Penguasa di Pemilu 2024 Sangat Mengkhawatirkan

Pakar Politik, Siti Zuhro.

Jakarta, LiraNews.com – Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI dan Peneliti Utama Politik BRIN, Siti Zuhro menilai bahwa Pemilu 2024 merupakan salah satu pemilu terburuk sepanjang sejarah RI.

Hal itu disampaikan Siti Zuhro saat bersidang dalam kegiatan ‘Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu 2024’ yang digelar PP Muhammadiyah di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (19/4/2024).

Read More
banner 300250

Siti Zuhro bahkan menyebut, selama Indonesia berdiri, baru kali ini ada pemilu yang membahayakan NKRI.

“Pengalaman 6 kali era revormasi sejak pemilu pertama kali sejak tahun 1999 sampai 2024. Pemilu 2024 ini merupakan pemilu yang sangat amat mengkhawatirkan dan membahayakan NKRI,” kata Siti Zuhro.

Bagi Siti Zuhro, bagian yang paling mengkhawatirkan adalah soal cawe-cawe penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan, sehingga berbagai cara pun dilakukan.

“Karena ada cawe-cawe yang luar biasa dari penguasa. Melakukan intervensi politik ke semua stakeholder terkait pemilu. Mulai penyelenggara instansi penegak hukum, birokrasi sampai ke relawan,” katanya.

Ia tak memungkiri jika penguasa yang dimaksud bukanlah peserta pemilu 2024. Namun, sosok penguasa tersebut memuluskan jalan salah satu paslon untuk meraup suara saat pesta demokrasi digelar.

“Penguasa memang bukan incumbent yang sedang mencalonkan diri tapi justru cawe-cawenya jauh luar biasa dari incumbent ketika mencalonkan dirinya tahun 2019. Mengapa? Karena dalam konteks ini, nepotisme lebih memberikan peran yang luar biasa kepada penguasa untuk memenangkan anaknya sendiri,” kata Siti Zuhro.

“Kata kuncinya sangat jelas yaitu maintaining power, atas nama lanjutkan kekuasaan yang ada, maka tidak bisa dirinya sendiri 3 periode yang ada adalah anaknya pun harus jadi,” tegas dia.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid menyampaikan pendapatnya soal kondisi kekinian demokrasi Indonesia.

Menurutnya, demokrasi dewasa ini justru sudah keluar jauh dari jalurnya lantaran berjalan tanpa mengindahkan etika.

“Bisa jadi demoraksi yang sering sampai pada telinga kita bukan demokrasi yang substantif, etika digadaikan, bahkan politik uang merajalela, politik dinasti kalau kita lihat dari berbagai juri yang lain menyampaikan juga secara terang-terangan ditampilkan dipertontonkan, mobilisasi sumber daya negara untuk kepentingan kelompok tertentu,” kata Fathul.

“Jadi demokrasi yang ada bukan demokrasi yang substantif, ada yang menyebut sebagai demokrasi prosedural semuanya terlihat baik-baik saja di permukaan tetapi kenyataannya tidak demikian,” sambungnya.

Melihat fenomena demokrasi di Indonesia saat ini, bagi Fathul, sama seperti istilah yang pernah disampaikan Profesor Bidang Ilmu Politik dari University Of London William Davis sebagai demokrasi perasa.

“Dalam demokrasi yang seperti ini perasaan sangat mendominasi keputusan. Dan kita khawatir bahwa perasaan publik indonesia sedang dimainkan, dimanipulasi dengan beragam cara salah satunya dengan memutarbalikan fakta dan informasi di lapangan.”

“Muncul kemudian otokrat-otokrat informasi yang menjadi penjaga gerbang yang itu ditujukan untuk kepentingan kelompok tertentu dan kepentingan jangka pendek yang lagi-lagi mengabaikan kepentingan bangsa Indonesia untuk jangka yang sangat panjang,” tegas dia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *